Pesawat baru tersebut diumumkan ke dunia pada tanggal 1 November, dengan foto yang diposting di Internet. Foto-foto tersebut menunjukkan J-31 yang mengangkasa di dekat timur laut kota Shenyang, tempat pembuatan jet tersebut oleh Shenyang Aircraft Corp, demikian menurut media Cina.
Pesawat ini terbang dengan kecepatan relatif rendah dan roda pendaratan masih berada di luar, dikawal oleh dua pesawat tempur J-11 Cina. Situs web tidak resmi mengenai urusan militer di Cina memberitakan bahwa penerbangan itu terjadi sehari sebelumnya, dan terjadi hanya selama 10 menit.
Ross Babbage dari Yayasan Kokoda Australia dan Greg Waldron dari majalah Flight Global di Singapura, berkata bahwa J-31 nampak sebagai versi lebih kecil dari prototipe J-20 yang terbang pada tahun 2011 di dekat bagian barat daya kota Chengdu.
Rincian mengenai kinerja kedua pesawat tersebut tetap belum diketahui hingga saat ini, termasuk keefektifan sensor dan selubung penyerap radarnya. Tidak ada yang tahu mengenai adanya pengambilan keputusan untuk memproduksi salah satu atau kedua pesawat tersebut.
Dalam suatu laporan publikasi, Waldron mengatakan bahwa perbandingan ukuran serta rancangan yang tampak jelas dari dua pesawat itu, menunjukkan proyeksi perannya nanti: Dia mengatakan bahwa J-31 yang lebih kecil dan diduga lebih mudah melakukan manuver, tampak dirancang sebagai pencegat-tempur yang dapat dibandingkan dengan Joint Strike Fighter milik A.S. J-20 yang lebih besar akan berfungsi sebagai pesawat pendukung darat taktis yang dirancang untuk menyerang lapangan terbang, kapal perang, formasi militer, dan target-target daratan lainnya.
Analis Andrew Erickson dan Gabe Collins, yang menulis dalam China Real Time Report di The Wall Street Journal pada 5 November, mengatakan bahwa industri pesawat Cina telah mencapai suatu titik kematangan sehingga dapat mengembangkan beberapa program pesawat militer tingkat lanjut yang berbeda secara bersamaan.
“Sekarang industri pertahanan Cina dapat menopang beberapa program tingkat lanjut yang saling tumpang tindih. Saat ini SAC [Shenyang Aircraft Corp.] saja sedang menggarap empat pesawat tempur besar – J-31 dan J-16, seperti halnya juga induk J-16 dengan tempat duduk tunggal, J-11B dan J-15 yang berbasis kapal induk, yang juga berdasarkan pada J-11B,” demikian tulis mereka.
J-31, J-20 ‘akan saling mendukung’
Erickson dan Collins meramalkan bahwa “kemungkinannya J-31 akan menjadi pesawat perang multi-peran dengan kemampuan untuk menggunakan amunisi berpresisi modern, baik dalam peran di udara maupun di udara ke darat.”
Namun para analis juga memperingatkan bahwa “akan makan waktu bagi pesawat tempur ini hingga mencapai status operasional penuh.” Waktu yang dibutuhkan sedikitnya dua tahun, sebelum J-20 ataupun J-31 memasuki tahap produksi.
Bai Wei, mantan wakil editor mingguan Aviation World, mengatakan kepada koran Global Times di Beijing, bahwa kemungkinannya Cina akan terus maju dengan pengembangan J-20 dan juga J-31. “Seperti halnya pesawat tempur F-22 dan F-35 generasi kelima milik A.S., J-20 dan J-31 akan saling mendukung dalam operasi masa depan,” ucapnya.
“J-31 sudah hampir pasti dirancang dengan maksud agar memiliki potensi beroperasi pada kapal induk, yang dinilai dari roda pendaratan depan ganda yang telah ditingkatkan serta dua sayap belakang lebar guna meningkatkan stabilitas vertikal," ungkap Bai.
Cina membutuhkan keduanya, J-20 yang lebih besar dan J-31 yang lebih gesit guna mempertahankan wilayah udaranya, kata Bai.
J-31 merupakan pesawat tempur ukuran menengah yang menggunakan mesin buatan Rusia, kemudian akan digantikan oleh mesin buatan Cina, demikian menurut laporan Global Times.
Bergantung pada mesin buatan asing
Industri pesawat Cina melaju ke depan untuk mencari cara pengembangan beberapa pesawat perang tingkat lanjut secara bersamaan. Namun pesawat ini tetap bergantung dengan sangat besar pada industri pesawat Rusia dalam hal rancangan dan produksi mesin untuk mendayainya.
Babbage berkata bahwa Cina tetap bergantung pada Rusia bahkan dalam hal pasokan mesin bagi model terbarunya, J-10, J-11, dan J-15. J-11 dan J-15 dibuat di Cina, dan merupakan salinan tingkat lanjut dari pesawat tempur-pengebom Rusia yang cepat dan dapat bermanuver, Sukhoi.
“Ini adalah rancangan pesawat tempur baru kedua yang telah muncul dari Cina dalam waktu dua tahun terakhir, hal ini menunjukkan tingkat perkembangan teknis yang cukup mengesankan, dan hal ini tentu saja membuat mereka menjadi yang terdepan dibandingkan semua para tetangga regionalnya,” demikian ungkap Sam Roggeveen dari Loew Institute di Sydney, Australia, yang merupakan seorang editor dari blog Lowy Institute, LowyInterpreter.org, pada WSJdalam China Real Time Report-nya.
Roggeveen setuju dengan pendapat Babbage bahwa “kelemahan terbesar program dirgantara Cina secara umum, dan khususnya dua program ini, terletak di masalah mesin.”
Cina "masih sangat bergantung pada teknologi asing, dan kemajuan mereka dalam mengembangkan mesin berkinerja tinggi secara domestik untuk pesawat perang, selama ini amat sulit dan lambat,” demikian ungkapnya.
Roggeveen juga setuju dengan penilaian Bai mengenai waktu panjang yang masih harus dilalui sebelum kedua pesawat siluman tersebut memasuki tahap produksi dan dipersiapkan untuk keperluan operasi. Tujuan ini akan memakan waktu pencapaian bertahun-tahun.
Industri dirgantara Cina telah melebar
Erickson dan Collins menyatakan suatu pengamatan penting, bahwa Cina telah membangun suatu basis industri dirgantara yang dalam jangka panjang dapat terbukti menjadi lebih meluas dibandingkan dengan yang dimiliki Rusia, India, atau Eropa.
“Sangat penting bahwa Cina mungkin akan segera bergabung dengan A.S. sebagai satu-satunya bangsa lainnya yang mampu mengembangkan dua pesawat 'tak dapat teramati' secara bersamaan,” demikian tulis mereka. “Sektor pertahanan dirgantara Cina secara keseluruhan dapat bergerak ke arah model arsitektural dalam beberapa tonggak keahlian menonjol yang dikembangkan di Shenyang, Xi’an, dan Chengdu, serta kemudian saling berkompetisi dalam proyek besar.”
Erickson dan Collins menunjukkan bahwa seraya basis industri dirgantara Cina makin meluas, akan timbul lebih banyak persaingan di antara para produsen pesawat negara tersebut. Persaingan yang demikian akan memastikan bahwa pemerintah dan penetapan pengadaan militer tidak akan terperangkap dan memaksakan hanya satu program pengembangan di satu area pada satu kali waktu, betapa pun buruknya kenyataan rancangan atau rekayasanya, demikian tulis para analis tersebut.
“Berbagai basis industri penerbangan dengan perkembangan dan kapasitas produksi yang menonjol, termasuk SAC, akan mendukung kompetisi domestik dalam hal program pesawat penting,” demikian tulis mereka. “Hal ini akan memperkecil kemungkinan kegagalan satu titik yang membahayakan target pembangunan, meningkatkan efisiensi, dan memaksimalkan kesempatan adanya dobrakan yang bermanfaat.”
Cina dapat 'melompat jauh' dalam teknologi
Erickson dan Collins bahkan mengemukakan kemungkinan masa depan ketika industri pesawat Cina dapat menghasilkan rancangan baru dan model produksi yang jauh lebih efektif biaya dibandingkan Amerika, dan memanfaatkan keahlian teknis A.S. yang banyak tersedia, untuk menandingi pesawat A.S. dalam hal parameter kinerjanya.
“Oleh karena itu tidak terlalu dini untuk mempertimbangkan kemungkinan bahwa industri penerbangan Cina, walaupun dengan adanya keterbatasan mereka, mungkin saja telah menikmati beberapa keuntungan utama dibandingkan dengan lawan mereka di Dunia Barat,” demikian tulis mereka. “Sebagai pendatang yang muncul belakangan, Cina dapat memperoleh pengetahuan dari tindakan mata-mata industri, rekayasa balik, dan studi mengenai sistem, standar, dan spesifikasi pihak asing, sehingga mereka dapat menghemat biaya dan melompat jauh, alih-alih mengembangkan tiap komponen sendirian.”
Prospek tersebut tampaknya masih akan memakan waktu beberapa tahun lagi. Pada tahun 1930-an, Jepang berhasil menandingi dan melampaui parameter kinerja pesawat perang A.S. kontemporer dengan pesawat tempurnya yang terkenal, Mitsubishi A6M Zero. Dalam waktu dua tahun sejak Amerika Serikat memasuki Perang Dunia II, industri pesawat A.S. telah merancang, menguji, dan memproduksi Grumman F6F Hellcat dan Chance Vought F4U Corsair, keduanya jauh lebih superior dibandingkan dengan Zero.
Oleh karena itu, hanya waktu yang menentukan, berapa lama yang dibutuhkan Cina untuk mendekati kepemimpinan global dalam teknologi penerbangan militer yang sekarang dikuasai oleh Amerika Serikat.
Namun, penilaian lain yang dibuat oleh Erickson dan Collins tampaknya telah terjadi: “Industri dirgantara Cina dengan cepat mendekati massa kritis.”
Sumber : www.apdforum.com
Silahkan tinggalkan komentar anda di sini